Sebagai mahasiswa yang sedang mengambil Jurusan Ilmu Bapak Beranak Satu, saya dituntut untuk mampu menjawab beragam tantangan rumah tangga.
Nah, kali ini problem yang musti diatasi adalah mengurangi frekuensi mudah menangisnya anak saya, Alakhsan Arditya (Acan), yang berumur 3 tahun 3 bulan.
Bangun tidur, nangis.
Disuruh makan, nangis.
Disuruh mandi, nangis.
Kena shampoo di kepala, nangis
Tidak menuruti permintaannya, nangis.
Disuruh tidur, nangis.
(…Tarik nafas dalam - dalam… hembuskan….)
Dari mengatasinya dengan sabar hingga tidak sabar sudah kita lakoni.
Tapi sepertinya menangis menjadi cara ampuh si Acan sebagai bentuk protesnya.
Sepertinya pak dosen sedang memberiku tugas menantang, dan saya sebagai mahasiswa harus mencoba menjawabnya.
Muncul ide untuk membuat semacam kalender jadwal tangisan si Acan.
Berbahan baku kertas A4, spidol hitam dan selotip, saya rancang grafis berbentuk kotak yang memiliki 4 lingkaran.
Cara mainnya adalah setiap kali Acan menangis, kami akan mewarnai lingkaran dengan spidol hitam. Agar lebih menarik, ada simbol tanda bahaya berupa gambar tengkorak di lingkaran ke 3 dan 4. Artinya ketika jumlah tangisan sudah melewati batas bahaya, maka bakal terjadi sesuatu yang menakutkan.
Saya teringat bahwa Acan paling enggan kalau mendengar "Nenek Gondrong". Sosok imajinasi menakutkan yang dikarang oleh "Mbak"nya. Keriput, berambut panjang dan putih, doyan dengan anak kecil yang tidak mau "nurut". Kira - kira demikian deskripsi yang ada dibayangan Acan tentang si nenek.
Rasanya setiap mendengar nama itu seperti mengucapkan Voldemort "You Know Who" musuh sentral Harry Potter, bikin begidik ketika disebut.
Awal mula, frekuensi tangisan mencapai posisi bahaya, berada di lingkaran ke 3, melewati simbol tengkorak.
Padahal sudah saya ingatkan ketika Acan masih menempuh lingkaran ke 2. "Hati - hati lohh, ini sudah mau melewati bulatan ke 3, nanti Nenek Gondrongnya datang".
Tampaknya Acan cuek saja hingga tidak lama kemudian peristiwa tangisan berikutnya terjadi.
Sebenarnya saya belum punya strategi apa pun ketika jumlah tangisan Acan sudah melewati lingkaran ke 3.
Kebetulan peristiwa itu terjadi di malam hari, menangis karena tidak mau tidur. Secara spontan dengan harap - harap takut tidak berhasil, saya berpura - pura mendengar langkah Nenek Gondrong sedang mendekat ke kamar kita.
Senggukan tangisan mulai mereda, Acan berubah menjadi cemas! Aha! Saya pun pura - pura ngintip ke depan pintu seolah - olah sudah melihat si Nenek Gondrong telah mendekat. Saya sambil berekspresi panik membisikan ke Acan agar segera berhenti menangis, takut didengar oleh sang nenek.
Kitapun berpelukan sambil hening, memastikan bahwa Nenek Gondrong pergi. Beberapa menit kemudian saya pura - pura grogi sambil ngintip ke pintu. Ekspresi berlagak lega saya tunjukan ke Acan bahwa sang nenek sudah pergi tidak jadi menghampiri Acan.
Alhamdulillah, sudah 13 hari program ini berjalan. Secara statistik bisa dibilang cukup efektif mengurangi daya tangisnya.
Acan hanya sekali melakukan pelanggaran di lingkaran ke 3. Beberapa kali cukup di lingkaran ke 2 atau 1, namun sementara lingkaran tanpa spidol hitam masih mendominasi.
Beberapa tingkah lucu bagaimana dia mencoba menahan untuk tidak meneteskan air mata, salah satunya dengan mengisap jempolnya.
Memang strategi ini masih dalam percobaan. Mungkin belum tentu berhasil beberapa bulan kemudian.
Tetapi saya hanya mencoba memberi cermin kepada Acan, melalui statistik yang dia rancang sendiri. Mulai belajar mengukur sudah sebanyak apa tangisan dia :)
Sebetulnya saya masih ragu dengan memberi reward ketika Acan berhasil menghindar dari tangisannya setiap harinya. Takut hanya karena reward dia tidak nangis, bukan karena kesadarannya.
Sesekali, kami tetap suka memberi hadiah berkat prestasi menahan air mata, tetapi sering kali saya tekankan kepada dia bahwa lelaki sejati itu tidak mudah crying.
Hiks! Saya jadi ikutan menangis…tapi tangisan haru ;…)