Siap Siaga Menghadapi Pengemis Paris


Jaket tebal penuh saku berwarna biru lumayan melindungi dinginnya cuaca Paris yang saat itu sekitar 12 derajat celcius. Tas ransel dan tas pinggang melengkapi penampilan saya sebagai turis ala backpacker di kota pemilik Menara Eifel ini.

Mendadak dua wanita berkerudung mendekati saya. Disodorkanlah secarik kertas seperti daftar nama yang harus diisi, di tangan mereka juga telah siap sedia sebuah bolpen.

Tampang memelas sambil memohon mohon untuk menandatangani sesuatu di kertas membuat saya makin malas untuk meladeni mereka. Sedikit memaksa seolah tiga wanita itu ingin mengepung saya.

Melas tapi maksa, mungkin itu motto mereka kali ya? Untung muka masam saya dan sedikit melengos beranjak pergi sambil bibir berkata "NO!" membuat hati mereka sedikit demi sedikit berkata "ya sutra lah". Seolah paham bahwa tidak perlu didekati lagi, percuma.

Sebuah sambutan pahit dari Paris buat saya dan istri, @helloarie. Makin sepet rasanya ketika mereka berdua menggunakan atribut agama saya dari ucapan dan dandanan sebagai alat mendapatkan uang secara tidak cantik.

Tidak lebih dari satu jam, gangguan itu datang lagi, namun dengan orang yang berbeda. Kali ini jumlahnya lebih banyak, tiga orang wanita berkerudung.

Konsepnya kurang lebih sama, sambil menenteng kertas berisi list dan bolpen, berharap yang mereka jumpai mau menanda tanganinya. Dugaan saya semacam meminta dukungan dalam bentuk  sumbangan.

Sekonyong konyong diantara tiga wanita itu mendekati dan menepuk nepuk pundak saya dengan muka seolah teman dekat yang sudah lama tak berjumpa. "Assalamuallaikum brother, we are Moslem" ucapnya. Hadeehh apa lagi inihh! - batin saya.

Dua wanita lain sibuk kemrungsung menyodorkan kertas untuk minta tanda tangan, rasanya seperti artis dari Indonesia dikerubuti fans dari Paris, tapi kalau yang ini fans penipu.

Terus terang saya tidak bisa melihat wajah mereka karena tertutup banyak kertas. Insting saya mendadak melapor bahwa ada sesuatu yang bahaya jika dibiarkan.

Walhasil badan gemuk saya setinggi 178 cm ini langsung menggeliat keluar secara cepat dari kerumuman tiga wanita heboh itu.

Seperti auto pilot, merekapun pergi mencari mangsa yang lain. Kebetulan di belakang saya sedang ada bis wisata yang sedang menurunkan banyak turis dari Jepang. Secepat kilat geng berkerudung itu mendekatinya.

Awalnya saya menganggap bahwa ini hanyalah trik dari pengemis di Kota Paris, namun ketika melihat tas pinggang saya yang terbuka lebar, asumsi menjadi berubah. Ternyata mereka adalah maling berkedok pengemis.

Cukup panik ketika resleting itu terbuka lebar, karena uang euro dan passport tersimpan di sana. Syukur Alhamdulillah, reflek saya menyelamatkan dari peristiwa buruk. Tidak tahu apa jadinya jika saya meladeni kehebohan mereka dalam waktu yang cukup lama, mungkin saya akan mengemis di KBRI untuk pengurusan passport.

Hasil survey di internet mengamini saya, bahwa pola pengemis seperti itu sudah menjadi warning bagi turis di Paris. Telah banyak korban yang kehilangan barang - barang berharganya dan ternyata konsep penyodoran kertas adalah sebagai kamuflase agar kegiatan mencopet tidak terlalu terlihat. Satu orang sibuk menjelaskan, sisanya sibuk menggrayangi.

Tidak sengaja ketika saya duduk di dalam kereta bawah tanah, tampak secarik kertas ukuran A5 tergeletak di kursi sebelah. Dari pada bengong, saya baca saja. Oalah, ternyata pengemis sudah menjadi sindikat, bahkan sampai di print dengan rapi bagaimana cara berucap. Rasanya pemilik bacaan ini ingin saya siram dengan kecap.


1 comment:

  1. Itu mungkin yang dinamakan pengemis moderen bang...
    Masih ada aja negeri sebesar itu punya pengemis.

    ReplyDelete